Ilustrasi: Cahyo Heryunanto
Untuk Berita Utama sebelumnya, klik tautan berikut: BERITA UTAMA IPPU
Untuk membuka halaman-halaman dari Situs ini, silakan skrol ke bawah.
Makna Kata Umat
Kata “umat” sangat popular, khususnya di kalangan umat Islam, sayang maknanya sering tidak dipahami, bahkan sering disalahpahami. Kata ini berasal dari kata yang berarti “tumpuan”, “sesuatu yang dituju”, dan “tekad”. Dari kata yang sama dibentuk kata umm yang berarti “ibu”, yang merupakan tumpuan seorang anak.
Ali Syari’ati dalam bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah, menguraikan lebih rinci kata ini. Makna akar ini, tulisnya, mengandung tiga pesan pokok, yakni pergerakan, tujuan, serta ketetapan atas dasar kesadaran penuh. Makna-makna ini lebih jauh mengandung makna lain yang tidak kurang dalamnya, yakni pilihan, kemajuan, serta arah.
Itu sebabnya, dari akar kata ini pula dibentuk kata-kata lain yang berarti depan, pemimpin, keteladanan, jalan yang jelas, waktu, dan kelompok, yang kesemuanya menjadi prasyarat kemajuan umat.
Al-Quran menggunakan kata ini untuk arti yang menggambarkan adanya ikatan-ikatan tertentu yang menghimpun sesuatu. Manusia adalah umat pada saat terjalinnya ikatan yang menghimpun mereka, burung pun demikian, juga waktu yang dialami bersama oleh satu kelompok, bahkan termasuk juga seorang tokoh yang sangat berpengaruh. Himpunan yang dinamai Al-Quran “umat”, seperti “agama” dan waktu. Demikian luwes arti kata “umat”.
Manusia, sebagai satu umat, harus terhimpun dalam satu wadah menuju arah tertentu yang diupayakan melalui gerak langkah ke depan, di bawah satu kepemimpinan dan keteladanan. Wadah itu boleh jadi kemanusiaan, kebangsaan, etnis, agama dan sebagainya.
Cendekiawan Mesir kenamaan, Dr. Muhammad Imarah, berpendapat bahwa negara yang dibentuk oleh Nabi di Madinah, secara jelas dalam piagamnya, telah dibedakan antara umat yang diikat oleh agama yang sama dan umat yang terdiri dari berbagai etnis namun diikat oleh himpunan kebijakan politik yang sama. Kendati keduanya berbeda atau dibedakan secara jelas, namun keduanya disatukan dalam satu wadah, dan wadah ini dinamai umat. Kalau demikian, ada umat yang dihimpun oleh agama atau nilai, ada umat yang dihimpun oleh satu bangsa dengan berbagai etnis, dan ada pula umat manusia yang dihimpun oleh kemanusiaannya. Muhammad saw., dalam Piagam Madinah, membentuk negara yang menghimpun manusia di wilayah Madinah menjadi satu umat dengan keragaman agama dan etnis.
Uraian ini muncul kembali ke benak saya pada suasana proklamasi kemerdekaan kita, dan suasana perpecahan yang melanda berbagai wilayah yang tadinya telah menjadi satu umat. Bosnia diperangi Serbia. Di sana kekejaman melanda manusia-manusia yang tak berdosa, perselisihan etnis diperuncing oleh perbedaan agama, dan itu terjadi akibat kegagalan memadukan keduanya dalam satu wadah. Dunia bersimpati kepada Bosnia bukan karena keterikatan pada satu agama, tetapi karena mereka teraniaya. Penganiayaan itu tercermin dalam pemerkosaan etnis yang ingin dibersihkan dan diusir demi memperluas wilayah yang dihuni oleh etnis yang lain. Kemanusiaan menuntut pemihakan kepada yang dianiaya, dan itulah perwujudan dari keberadaan kita sebagai umat manusia.
Sebagai umat Islam, kita bersimpati kepada mereka, bukan saya karena sebagian penduduknya Muslim, tetapi karena Islam selalu mendambakan keadilan walaupun terhadap lawan.
Sebagai bangsa, kita bersyukur menjadi satu umat dalam satu wadah Negara Kesatuan yang direkat oleh Pancasila dan UUD 45. Semoga Allah memelihara kita.
Sumber: Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, M. Quraish Shihab, 1994.
Ali Syari’ati dalam bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah, menguraikan lebih rinci kata ini. Makna akar ini, tulisnya, mengandung tiga pesan pokok, yakni pergerakan, tujuan, serta ketetapan atas dasar kesadaran penuh. Makna-makna ini lebih jauh mengandung makna lain yang tidak kurang dalamnya, yakni pilihan, kemajuan, serta arah.
Itu sebabnya, dari akar kata ini pula dibentuk kata-kata lain yang berarti depan, pemimpin, keteladanan, jalan yang jelas, waktu, dan kelompok, yang kesemuanya menjadi prasyarat kemajuan umat.
Al-Quran menggunakan kata ini untuk arti yang menggambarkan adanya ikatan-ikatan tertentu yang menghimpun sesuatu. Manusia adalah umat pada saat terjalinnya ikatan yang menghimpun mereka, burung pun demikian, juga waktu yang dialami bersama oleh satu kelompok, bahkan termasuk juga seorang tokoh yang sangat berpengaruh. Himpunan yang dinamai Al-Quran “umat”, seperti “agama” dan waktu. Demikian luwes arti kata “umat”.
Manusia, sebagai satu umat, harus terhimpun dalam satu wadah menuju arah tertentu yang diupayakan melalui gerak langkah ke depan, di bawah satu kepemimpinan dan keteladanan. Wadah itu boleh jadi kemanusiaan, kebangsaan, etnis, agama dan sebagainya.
Cendekiawan Mesir kenamaan, Dr. Muhammad Imarah, berpendapat bahwa negara yang dibentuk oleh Nabi di Madinah, secara jelas dalam piagamnya, telah dibedakan antara umat yang diikat oleh agama yang sama dan umat yang terdiri dari berbagai etnis namun diikat oleh himpunan kebijakan politik yang sama. Kendati keduanya berbeda atau dibedakan secara jelas, namun keduanya disatukan dalam satu wadah, dan wadah ini dinamai umat. Kalau demikian, ada umat yang dihimpun oleh agama atau nilai, ada umat yang dihimpun oleh satu bangsa dengan berbagai etnis, dan ada pula umat manusia yang dihimpun oleh kemanusiaannya. Muhammad saw., dalam Piagam Madinah, membentuk negara yang menghimpun manusia di wilayah Madinah menjadi satu umat dengan keragaman agama dan etnis.
Uraian ini muncul kembali ke benak saya pada suasana proklamasi kemerdekaan kita, dan suasana perpecahan yang melanda berbagai wilayah yang tadinya telah menjadi satu umat. Bosnia diperangi Serbia. Di sana kekejaman melanda manusia-manusia yang tak berdosa, perselisihan etnis diperuncing oleh perbedaan agama, dan itu terjadi akibat kegagalan memadukan keduanya dalam satu wadah. Dunia bersimpati kepada Bosnia bukan karena keterikatan pada satu agama, tetapi karena mereka teraniaya. Penganiayaan itu tercermin dalam pemerkosaan etnis yang ingin dibersihkan dan diusir demi memperluas wilayah yang dihuni oleh etnis yang lain. Kemanusiaan menuntut pemihakan kepada yang dianiaya, dan itulah perwujudan dari keberadaan kita sebagai umat manusia.
Sebagai umat Islam, kita bersimpati kepada mereka, bukan saya karena sebagian penduduknya Muslim, tetapi karena Islam selalu mendambakan keadilan walaupun terhadap lawan.
Sebagai bangsa, kita bersyukur menjadi satu umat dalam satu wadah Negara Kesatuan yang direkat oleh Pancasila dan UUD 45. Semoga Allah memelihara kita.
Sumber: Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, M. Quraish Shihab, 1994.